Dalam beberapa tahun terakhir, fenomena stres di tempat kerja semakin meningkat, terutama di kalangan pendidik. Masalah ini menjadi sangat signifikan dalam konteks pendidikan tinggi, di mana tuntutan yang dihadapi dosen sering kali melebihi kapasitas individu mereka. Sebuah penelitian terbaru yang dilakukan di Sekolah Vokasi Universitas Gadjah Mada (UGM) di Yogyakarta telah memetakan sumber stres, tanda-tanda stres, dan strategi manajemen stres di kalangan dosen. Penelitian ini sangat penting dalam konteks Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), terutama dalam mempromosikan pendidikan berkualitas dan pekerjaan yang layak untuk semua.
Penelitian ini menggunakan pendekatan studi kasus kualitatif, dengan kuesioner sebagai instrumen pengumpulan data utama. Sebanyak 55 responden berpartisipasi dalam penelitian ini, memberikan wawasan berharga tentang pengalaman mereka dengan stres di tempat kerja. Temuan menunjukkan bahwa beban kerja administratif muncul sebagai sumber stres utama, diikuti oleh tanggung jawab terkait penelitian dan pengajaran. Hal ini sejalan dengan tujuan SDG untuk memastikan pendidikan yang inklusif dan berkualitas, karena stres yang berlebihan dapat menghambat kemampuan pendidik untuk memberikan pengajaran yang efektif.
Tanda-tanda fisik stres sangat umum di antara responden, dengan sakit kepala dilaporkan oleh 50,9% dan insomnia oleh 47,3%. Gejala-gejala ini tidak hanya mempengaruhi kesehatan dosen tetapi juga produktivitas dan efektivitas mereka di dalam kelas. Tanda-tanda emosional stres juga signifikan, dengan 69,1% responden mengalami perubahan suasana hati dan 63,6% melaporkan peningkatan kemarahan. Tantangan emosional semacam ini dapat berdampak buruk pada lingkungan belajar, mempengaruhi pengalaman pendidikan siswa.
Penelitian ini juga menyoroti bahwa stres terkait pekerjaan sering kali ditunjukkan melalui kesulitan berkonsentrasi dan penurunan produktivitas yang nyata. Hal ini sangat mengkhawatirkan dalam konteks pendidikan untuk keberlanjutan, di mana pendidik diharapkan menjadi teladan dan pemimpin dalam mempromosikan masa depan yang berkelanjutan. Jika dosen merasa tertekan, kemampuan mereka untuk menginspirasi dan mendidik siswa tentang isu-isu keberlanjutan dapat terpengaruh.
Untuk mengatasi stres ini, para dosen menggunakan berbagai strategi manajemen stres. Ini termasuk aktivitas personal, sosial, dan spiritual seperti berolahraga, menghabiskan waktu dengan keluarga, dan memperkuat praktik spiritual mereka. Pendekatan holistik semacam ini sangat penting dalam mempromosikan kesejahteraan mental dan memastikan bahwa pendidik dapat menjaga keseimbangan antara tanggung jawab profesional dan kehidupan pribadi mereka.
Temuan penelitian ini menekankan pentingnya manajemen waktu, dukungan sosial, dan perawatan diri dalam mengelola stres secara efektif. Institusi pendidikan tinggi harus menyadari signifikansi faktor-faktor ini dalam menciptakan lingkungan kerja yang mendukung. Dengan membangun budaya yang memprioritaskan kesehatan mental dan kesejahteraan, universitas dapat berkontribusi pada tujuan SDG untuk pekerjaan yang layak bagi semua.
Sebagai kesimpulan, stres di tempat kerja di kalangan dosen adalah masalah mendesak yang memerlukan perhatian segera. Penelitian yang dilakukan di UGM memberikan wawasan berharga tentang sumber dan tanda-tanda stres, serta strategi manajemen yang efektif. Dengan mengadopsi pendekatan holistik yang seimbang antara pekerjaan dan kehidupan pribadi, pendidik dapat lebih baik mengelola stres dan meningkatkan kesejahteraan mereka secara keseluruhan. Hal ini, pada gilirannya, akan mengarah pada hasil pendidikan yang lebih baik dan masa depan yang lebih berkelanjutan bagi semua.