Nama saya adalah Devi Wardhani Pramesywari. Akrab disapa Devi. Saya adalah mahasiswa angkatan 2014 di prodi D3 Bahasa Jepang, Sekolah Vokasi, Universitas Gadjah Mada. Saya baru saja kembali ke Indonesia pada 24 Agustus 2018 setelah mengikuti program student exchange SPACE J di Saga University selama satu tahun. Saya merupakan mahasiswa kedua dari SV yang diterima dalam program ini. Sebelumnya, di tahun 2016, yang mengikuti program ini adalah Febri Sahrullah (angkatan 2013). Program SPACE (Saga University Program for Academic Exchange) ini memiliki 2 jenis, yaitu SPACE J dan SPACE E. SPACE J (Japanese) merupakan program yang perkuliahannya diadakan menggunakan Bahasa Jepang. Untuk mengikuti SPACE J, mahasiswa minimum harus memiliki kemampuan Bahasa Jepang setara JLPT (Japanese Language Proficiency Test) level 2. Sementara itu, program SPACE E (English) adalah program perkuliahan dengan bahasa pengantar Bahasa Inggris. Oleh sebab itu, untuk mengikuti SPACE E, mahasiswa harus memiliki kemampuan berbahasa Inggris yang cukup tinggi.
Selama masa studi saya di Jepang, saya tidak dipungut biaya sedikit pun oleh pihak Universitas. Ini karena Universitas Gadjah Mada dan Saga University telah menjadi partner university. Sementara itu, untuk biaya hidup, saya menggunakan uang beasiswa yang diberikan oleh pihak JASSO selama 11 bulan. Beasiswa diberikan sebesar 80.000 yen perbulan. Saga University terletak di prefektur Saga di pulau Kyushu yang jauh dari Tokyo, sehingga biaya hidup seperti sewa apartemen, biaya makan, dan biaya transportasi sangatlah murah.
Suasana di kota Saga pun sangat nyaman dan kondusif bagi saya sebagai mahasiswa yang ingin jauh dari keramaian agar bisa berkonsentrasi untuk belajar. Kehidupan perkuliahan yang saya jalani sangat menyenangkan. Saya bisa mengikuti kelas Bahasa Jepang, budaya, interkultural, dan kelas lainnya bersama teman-teman dari berbagai negara di belahan dunia serta dengan mahasiswa Jepang. Menghadiri perkuliahan dengan teman dari berbagai negara dan mahasiswa Jepang serta tinggal di lingkungan yang berbeda dari biasanya, membuat saya mendapatkan banyak ilmu dan pemahaman budaya Jepang.
Hidup di negara yang berbeda budaya dan kondisi geografis yang berbeda, culture shock pun tidak dapat saya hindari. Di antara culture-shock yang saya rasakan, ada satu hal yang paling berkesan bagi saya. Hal itu ialah perubahan cuaca yang ekstrim selama satu tahun. Saya merasakan pergantian empat musim. Suhu pada musim gugur dan musim semi tidak terlalu menjadi masalah bagi saya, namun pada musim dingin dan musim panas, saya merasakan kesulitan untuk beradaptasi di sini. Suhu paling redah yang saya rasakan ialah – 6° C pada musim dingin dan paling tinggi ialah 40° C pada musim panas. Oleh sebab itulah, saya sangat mengagumi orang Jepang dan orang yang berasal dari negara dengan empat musim karena mereka mampu beradaptasi dengan cuaca sedingin dan sepanas apapun untuk bisa menjalani kehidupan sehari-hari. Walaupun saya sempat sulit untuk beradaptasi, namun saya sangat bersyukur bisa merasakan pergantian empat musim di Jepang.
Banyak hal yang saya pelajari selama tinggal di Jepang. Mahasiswa Jepang rajin datang dan belajar di perpustakan kampus bahkan saat hari libur (hari sabtu). Saat tidak ada kuliah, hampir sebagian besar mahasiswa Jepang melakukan arubaito (pekerjaan paruh waktu) untuk menambah biaya hidup. Di Jepang, pelayanan umum di restoran, rumah makan, bank, atau tempat-tempat lainnya sangat ramah. Kejujuran orang Jepang dan tingkat kriminalitas yang rendah juga patut diancungi jempol. Selain pemahaman tentang budaya Jepang, saya juga belajar tentang budaya negara lain melalui pergaulan dengan teman-teman dari China, Korea, Taiwan, Macau, Kamboja, Vietnam, dan negara lainnya. Bagi saya, bisa mengenal, merasakan, dan memahami budaya negara lain merupakan sebuah pengalaman berharga.
Di Jepang saya tidak hanya selalu berada di kampus namun juga saya langsung terjun merasakan kehidupan kerja di Jepang. Saya melakukan arubaito di sebuah restoran barbeque sebagai pelayan tamu mulai dari mengantar tamu ke meja, mengantarkan makanan hingga menjadi kasir. Langsung terjun merasakan bagaimana mayoritas mahasiswa kuliah sambil mencari uang tentu tidaklah mudah pada awalnya. Namun seiring waktu, pekerjaan sambilan sudah menjadi keseharian bagi saya. Beberapa tahun terakhir jumlah mahasiswa asing yang datang untuk belajar ke Saga semakin meningkat. Di Saga, banyak organisasi atau sekolah, (mulai dari TK, SD, SMP dan SMA) yang ingin memberikan anak didik mereka pengetahuan mengenai pemahaman budaya negara lain. Pihak sekolah bahkan mengundang mahasiswa asing untuk datang ke sekolah mereka dan memperkenalkan negara dan budaya negara asal si mahasiswa asing tersebut kepada siswa mereka. Saya sering mengisi acara seperti ini dan memperkenalkan Indonesia serta budayanya kepada siswa-siswa di Saga. Saya senang bisa memperkenalkan Indonesia kepada siswa di Jepang.
Saya sangat bersyukur bisa diberikan kesempatan untuk belajar di Jepang selama setahun. Sampai saat ini pun saya masih tidak percaya jika saya bisa mewujudkan mimpi saya itu. Pesan saya bagi teman-teman yang bermimpi untuk belajar di luar negeri, terutama Jepang, persiapkan sertifikat kemampuan berbahasa Jepang kalian. Selain itu, prestasi serta nilai-nilai Indeks Prestasi Akademik yang baik juga harus diraih untuk mendobrak kesempatan kalian mengikuti pertukaran pelajar. Kemudian satu hal yang paling penting, jangan takut untuk keluar dari zona nyaman kalian sekarang ini, kekhawatiran dan kebimbanngan itu pasti ada. Oleh sebab itu, kuatkan tekad dan beranilah melangkah maju ke depan demi perubahan yang baik.
Text dan Foto: Devi Wardhani Pramesywari