Antara Budaya dan Prinsip: Kisah Adaptasi Seorang Migran Muslim
Responden dalam studi ini menyampaikan bahwa terdapat dua jenis nomikai di perusahaannya: nomikai internal bersama sesama kolega, dan nomikai dengan pihak eksternal yang umumnya dilakukan sebagai bagian dari proses negosiasi dengan perusahaan klien. Dengan kata lain, nomikai yang kedua merupakan bagian dari tanggung jawab profesionalnya. Oleh karena itu, responden memilih untuk tetap menghadiri nomikai tanpa mengonsumsi makanan atau minuman yang tidak halal, sebagai bentuk kompromi antara menjaga hubungan kerja dan mempertahankan prinsip keislamannya. Ia juga aktif membangun komunikasi terbuka dengan rekan-rekan kerja, menjelaskan secara sopan alasan di balik pilihannya, serta berusaha tetap terlibat secara sosial dalam batasan yang ia yakini.
Kisah ini menunjukkan bahwa meskipun berasal dari budaya dan agama yang berbeda, pekerja migran tetap bisa menemukan ruang untuk beradaptasi tanpa kehilangan identitas diri. Responden menceritakan bahwa sebelum menghadiri nomikai, ia biasanya mencari tahu terlebih dahulu lokasi yang akan dikunjungi serta memeriksa menu yang tersedia. Langkah ini diambil untuk memastikan bahwa ada pilihan makanan atau minuman yang sesuai dengan prinsip kehalalan yang ia anut. Jika tempat nomikai ditentukan secara mendadak, ia akan bertanya secara diam-diam kepada pelayan izakaya—yakni tempat makan dan minum khas Jepang yang menyerupai kedai—mengenai menu yang diyakini halal. Menurutnya, tindakan ini dilakukan dengan hati-hati agar tidak menimbulkan rasa tidak nyaman di antara rekan kerja atau klien yang hadir dalam acara tersebut.
Responden menuturkan bahwa penting baginya untuk menjaga identitas sebagai seorang Muslim selama tinggal di Jepang, karena ia merasa bahwa sebagai kaum minoritas di negara tersebut, ia berkewajiban untuk menjaga keluarganya.
“Dulu awal pertama kali ke Jepang (tujuh tahun lalu saat mengikuti program pertukaran mahasiswa), masih muda, saya menghadiri nomikai dan saya sempat mengkonsumsi daging selama bukan daging babi. Tetapi setelah memperdalam ilmu agama, ada beban untuk mengajarkan agama Islam kepada suami saya, dan jika saya jadi ibu nanti, saya juga yang harus mengajari anak-anak. Dan karena saya sudah menetap di Jepang, kalau bukan saya yang menjaga saya dan keluarga saya nanti, siapa yang akan menjaga kami? Itu yang mendorong saya untuk mempelajari dengan sungguh-sungguh tentang apa itu halal. Proses ini menumbuhkan prinsip yang saya pegang teguh saat ini, yaitu selama masih bisa dihindari (makanan dan minuman non-halal), saya harus terus menjaga halal, karena akan masuk ke tubuh dan menetap selamanya, dan akan dihisab….”
Responden juga menjelaskan bahwa komprominya terhadap kebiasaan nomikai di perusahaannya merupakan bagian dari upayanya menunjukkan profesionalitas dalam bekerja.
“Saya sadar bahwa saya tidak dapat memaksakan kehendak orang lain ke saya. Yang membuat saya mau untuk berkompromi adalah karena saya minoritas di sini…. Jika saya terlalu menunjukkan bahwa saya berbeda dan mengucilkan diri sendiri, malah nanti saya akan dikucilkan. Maka dari itu, dengan segala kerepotan-kerepotan yang harus saya hadapi, saya memilih untuk berkompromi dengan menetapkan batasan-batasan sejauh mana saya bisa berkompromi,” tutur responden dalam wawancara.
Sebagai bagian dari negosiasi dengan koleganya di tempat kerja, responden menuturkan bahwa ia selalu menjaga performa kerja, antara lain dengan datang tepat waktu, menepati tenggat pekerjaan, serta mematuhi peraturan yang berlaku di perusahaannya. Langkah-langkah tersebut dilakukannya untuk memperoleh kepercayaan penuh dari rekan-rekannya.
Relevansi dengan SDGs: Inklusi dan Toleransi di Dunia Kerja
Meskipun bersifat studi kasus, penelitian ini memberikan gambaran penting tentang tantangan dan strategi yang dihadapi pekerja migran Muslim di Jepang. Ini relevan dengan dua Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), yaitu Mengurangi Ketimpangan (SDG 10), khususnya dalam konteks perlakuan dan peluang setara di tempat kerja, dan Masyarakat Inklusif dan Damai (SDG 16), dengan menekankan pentingnya toleransi dan pemahaman lintas budaya dalam dunia kerja global.
Hasil studi ini diharapkan dapat membuka ruang diskusi lebih lanjut mengenai pentingnya kesadaran budaya (cultural awareness) di kalangan perusahaan dan pekerja, serta perlunya kebijakan yang memungkinkan inklusi tanpa asimilasi total.
Foto dan teks: Lufi Wahidati