Dalam sepak bola modern, tim nasional seringkali terdiri dari pemain, pelatih, dan staf dari berbagai latar belakang budaya. Tim nasional sepak bola Indonesia adalah contohnya, yang menunjukkan pengaruh Indonesia, Belanda, dan Korea, terutama pada masa kepelatihan Shin Tae-yong. Kepemimpinannya memperkenalkan metode dan filosofi pelatihan baru, tetapi tantangan komunikasi lintas budaya kemungkinan berdampak pada dinamika tim, pemahaman taktis, dan kinerja secara keseluruhan.
Studi ini mengkaji dinamika komunikasi antar pemain, pelatih, dan staf dari latar belakang Korea, Belanda, dan Indonesia dalam tim nasional sepak bola Indonesia. Fokus penelitian ini adalah pada dimensi budaya Hofstede (1980), termasuk jarak kekuasaan, individualisme, motivasi untuk berprestasi, penghindaran ketidakpastian, orientasi jangka panjang, dan kesenangan. Metode pengumpulan data meliputi pengamatan video dari akun Instagram Tim Nasional Indonesia, video konferensi pers pemecatan Shin Tae-yong, pernyataan Shin Tae-yong di kanal YouTube JekPot, dan artikel berita dari internet.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa jarak kekuasaan antara ketiga negara yang berbeda memengaruhi norma hierarkis dan pengambilan keputusan partisipatif dalam tim. Contoh norma hierarkis ditunjukkan ketika Shin Tae-yong menyatakan ketidaknyamanannya terhadap kebiasaan suporter Indonesia yang salah menyebut namanya, alih-alih “Pelatih Shin Tae-yong”. Hal ini mencerminkan nuansa budaya yang memengaruhi komunikasi dan rasa hormat dalam tim.
Salah satu kelemahan yang terlihat di antara pemain Indonesia adalah keengganan mereka untuk memberikan umpan balik langsung kepada rekan satu tim di lapangan. Sebaliknya, pemain diaspora Belanda lebih cenderung memberikan masukan atau umpan balik secara langsung kepada rekan satu tim lainnya, dan perilaku ini dipuji oleh pelatih kepala. Perbedaan ini menyoroti variasi gaya komunikasi yang dipengaruhi oleh latar belakang budaya, yang dapat meningkatkan atau menghambat kinerja tim.
Selain itu, beberapa pemain diaspora menghargai privasi dan waktu berkualitas bersama keluarga di waktu istirahat, sementara pemain Indonesia lebih senang berkumpul. Perbedaan preferensi ini menunjukkan pentingnya memahami keragaman budaya dalam tim, karena dapat memengaruhi kohesi dan moral tim.
Staf pelatih Korea selalu menunjukkan persiapan yang sangat baik, mulai dari program latihan, rencana perjalanan, pemilihan makanan, hingga strategi taktis sebelum dan sesudah pertandingan. Pendekatan yang teliti ini mencerminkan kesiapan mereka untuk menghindari ketidakpastian, yang dapat berkontribusi secara signifikan terhadap kinerja dan adaptabilitas tim dalam berbagai situasi.
Toleransi yang tinggi ditunjukkan oleh Shin Tae-yong kepada pemain Muslim, karena ia mengatur jadwal latihan dengan baik untuk memfasilitasi para pemain agar dapat mengikuti salat Jumat dan bahkan memberi mereka kesempatan untuk umrah sebelum pertandingan di Arab Saudi. Sensitivitas budaya ini menciptakan lingkungan yang inklusif, mempromosikan kesetaraan dan rasa hormat di antara anggota tim.
Keharmonisan tim tetap terjaga selama sesi latihan dan makan malam, ditandai dengan humor, canda tawa, dan penampilan menyanyi. Aktivitas semacam ini tidak hanya memperkuat hubungan interpersonal tetapi juga meningkatkan semangat tim, yang sangat penting untuk mencapai kesuksesan dalam olahraga kompetitif.
Sebagai kesimpulan, tim nasional sepak bola Indonesia di bawah kepemimpinan Shin Tae-yong mencerminkan kompleksitas komunikasi lintas budaya dalam lingkungan yang beragam. Dengan merangkul keragaman budaya dan membangun kemitraan global, tim dapat mengatasi tantangan dan memanfaatkan kekuatan unik mereka untuk mencapai kesuksesan yang lebih besar di panggung internasional.

Lokasi: Indonesia
Waktu: 2020-2025
Penulis: Andri Handayani