Arus peradaban modern yang melaju begitu cepat tak dapat dilepaskan dari hadirnya berbagai kompleksitas. Sokongan teknologi dan kecerdasan buatan yang terus berkembang menjadikan manusia kian dihadapkan pada beragam tantangan. Serangkaian inovasi dan eksperimen terus digalakkan demi menjemput masa depan yang lebih cerah. Namun, sungguhkah umat manusia benar-benar membutuhkan segala bentuk alat-alat canggih tersebut? Toh, selama ini, masyarakat global justru kian digerus ombak dehumanisasi.
Pertanyaan eksistensial itulah yang banyak ditemui saat berkunjung ke Museum Wallachian Village di Kota Roznov, Republik Ceko. Minggu, 10 Desember 2023 lalu, mahasiswa program IISMA 2023 di Univerzita Palackého v Olomouci berkesempatan untuk berkunjung ke museum tersebut. Kunjungan ini merupakan bagian dari rangkaian pengenalan sejarah Olomouc dengan dibimbing oleh Dr. Somer beserta ibu. Selain keduanya, dua orang student buddies yakni Nela dan Hanka juga turut membersamai para mahasiswa program IISMA.
Perjalanan menuju Roznov ditempuh dengan menggunakan kereta. Dari Kota Olomouc, jarak Roznov berkisar sejauh 70 kilometer. Tepat pukul 07.05 pagi, rombongan berangkat dari stasiun utama (hlavni nadrazi) Olomouc. Merujuk pada jadwal perjalanan, rombongan akan tiba di stasiun Roznov sekitar pukul 09.10. Sesampainya di stasiun, rombongan harus berjalan kaki selama 20 menit untuk sampai ke lokasi tujuan. Menariknya, Minggu pagi itu Roznov diguyur salju lembut. Sembari berjalan, para mahasiswa saling beradu melempar salju satu sama lain.
Merujuk keterangan Dr. Somer, Wallachian Village adalah sebuah komunitas etnologis dengan ciri kehidupan yang berbeda ketimbang kebanyakan penduduk Ceko. Letak geografisnya yang berada di daerah perbukitan menjadikan masyarakat Wallachia memiliki pola hidup yang unik. Berdasarkan penelitian yang dilakukan, penduduk Wallachia diketahui telah menetap di daerah tersebut sejak abad ke-18. Mereka mengembangkan pola kehidupan mandiri lewat aktivitas beternak, bercocok tanam, serta meramu hasil alam. Sayangnya, perkembangan zaman modern perlahan mengikis eksistensi mereka hingga akhirnya lenyap seperti sekarang. Meski begitu, di saat perang dunia pertama berkecamuk, daerah Wallachia sempat dihuni oleh dua keluarga yang saling tidak mengenal satu sama lain.
Di Museum Wallachian Village, pengunjung dapat bernostalgia merasakan atmosfer kehidupan masyarakat zaman dulu. Bangunan-bangunan sisa peninggalan peradaban Wallachia seperti rumah, kandang ternak, ruangan penyimpanan makanan, tungku pemanas, sekolah rakyat, hingga tempat penempaan besi masih berdiri terawat. Meski terletak di atas perbukitan, peradaban masyarakat Wallachia terbilang sangat maju. Mereka dengan kreatif mampu mengembangkan berbagai perkakas kehidupan untuk membantu aktivitas keseharian mereka. Istimewanya lagi, masyarakat Wallachia amat peduli terhadap eksistensi alam sekitar. Mereka menyadari bahwa kehidupan mereka tak dapat terlepas dari hasil alam. Alhasil, mereka berusaha untuk dapat melestarikan alam sebaik mungkin.
Selain menikmati bangunan-bangunan tua, para pengunjung juga dapat melihat potret kehidupan masyarakat Wallachia yang diperankan oleh beberapa petugas. Para petugas yang terdiri atas pria dan wanita tersebut mengenakan pakaian lengkap khas masyarakat Wallachia sekaligus mempraktikkan pola hidup mereka sehari-hari. Di ruangan dapur, misalnya, akan ditemukan seorang perempuan yang memperagakan praktik memasak makanan khas Wallachia dengan berbagai peralatan khasnya. Mereka dengan senang hati akan menjelaskan proses memasak tersebut secara detail. Saat makanan tersebut matang, pengunjung dipersilakan untuk dapat mencicipi secara gratis. Di tempat lain, pengunjung juga dapat melihat peragaan praktik pemintalan benang secara tradisional, penyulaman, hingga penempaan besi untuk membuat perkakas rumah tangga dan beragam aksesoris perhiasan.
Saat lelah berkeliling menjelajahi bangunan demi bangunan, pengunjung dapat beristirahat sekaligus menyantap menu khas Wallachia. Di dalam kompleks museum, terdapat sebuah restoran mungil yang menyajikan menu gulas kancil. Dengan harga 320 korun (sekitar Rp200.000), pengunjung dapat menikmati empuknya daging kancil dengan bumbu gulas yang kental. Selain itu, terdapat pula hidangan snitzel, roti khas masyarakat Ceko. Sebagai pelengkap, pengunjung dapat memesan segelas teh sembari mendengarkan alunan musik khas Wallachia yang dapat diputar dengan memasukkan beberapa keping logam uang korun.
Teks & Foto: M. Khoirul Imamil M
(mahasiswa Prodi D4 Bahasa Inggris, sedang studi IISMA 2023 di Palacky University Olomouc, Czech Republic)
Editor: Dewi Cahya Ambarwati