Pengenalan wayang kulit kepada peserta Cross Cultural Program 2019 dilakukan di ruang elisa UGM berisi mengenai sejarah kemunculannya hingga eksistensinya sampai saat ini. Hal ini dilakukan untuk Pengenalan disampaikan oleh Dosen DBSMB, Dewi Cahya Ambarwati dibantu oleh Anggara Sri Wisnu yang merupakan seorang seniman khusus budaya jawa klasik.
Materi pertama yaitu mengenai sejarah kemunculan wayang kulit disampaikan oleh Ibu Dewi. Beliau mengatakan bahwa Wayang kulit merupakan salah satu kesenian yang berasal dari Jawa Tengah yang terbuat dari kulit hewan, biasanya dari kulit kerbau. Alasannya adalah agar memunculkan warna yang lebih indah serta tidak mudah rusak. Dahulu, wayang digunakan sebagai media permenungan menuju roh spiritual para dewa. Kata wayang berasal dari kata “ Ma Hyang” yang artinya Tuhan atau sang kuasa. Meskipun begitu, adapun yang berpendapat bahwa wayang berasal dari kata ”bayang”.
Acara dilanjutkan dengan pertujukan wayang kulit yang dimainkan oleh Bapak Wisnu sebagai dalang. Wayang dimainkan dibalik layar putih atau kelir yang disorot dengan lampu sehingga menghasilkan bayangan pergerakan wayang. Wayang diletakkan diatas batang pohon pisang yang biasa disebut debog dalam bahasa jawa. Dalang berperan sebagai narator dari dialog tokoh pewayangan. Umumnya pertunjukan wayang diiringi oleh alunan gamelan dan tembang jawa yang dinyanyikan oleh sinden.
“Dalam memerankan pertunjukan wayang, tidak sembarang orang dapat melakukannya. Sang dalang harus lihai dan luwes serta mengerti berbagai cerita epos pewayangan seperti Mahabarata dan Ramayana. Dulunya dalang merupakan orang-orang yang pandai dalam hal ilmu pengetahuan dan sangat terpandang pada masanya,” ujar Bapak Wisnu.
Saat ini wayang telah beralih menjadi media hiburan. Eksistensinya sudah terdengar oleh bangsa lain di seluruh dunia. Wayang juga telah ditetapkan oleh UNESCO sebagai budaya asli dari Indonesia.
“Wayang kulit sarat dengan nilai filosofis yang kuat. Wayang mengajarkan kepada manusia cara berbudi pekerti yang luhur, saling mencintai dan menghormati sesama manusia,” lanjut Wisnu.
Text dan Foto: Dewi Cahya Ambarwati & Azata Izazi