Yogyakarta, 29 Oktober 2025 — Desa Banyusumurup, Kapanewon Imogiri, Kabupaten Bantul, dikenal luas sebagai sentra pengrajin keris yang mempertahankan tradisi turun-temurun dalam pembuatan keris. Masyarakat setempat memproduksi dua jenis keris utama, yakni Keris Ageman , yang digunakan dalam berbagai upacara tradisional, dan Keris Kodian, yang dipasarkan secara grosir.
Tradisi perkerisan di Banyusumurup memiliki akar sejarah panjang yang diyakini berhubungan erat dengan berdirinya kompleks pemakaman para raja Mataram Islam sejak abad ke-17. Para abdi dalem keraton yang menjaga kawasan pemakaman turut berperan dalam menjaga keberlanjutan budaya pembuatan keris hingga saat ini.
Seiring perkembangan zaman, masyarakat Banyusumurup terus berinovasi dalam mengembangkan potensi wisata budaya berbasis keris yang ramah lingkungan dan berkelanjutan. Proses pembuatan keris dilakukan dengan pemanfaatan bahan baku daur ulang, seperti besi dan drum bekas, serta penggunaan bahan bakar kayu secara efisien. Selain itu, proses pembersihan bilah keris dilakukan tanpa menggunakan bahan kimia berbahaya.
Langkah-langkah tersebut sejalan dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs), terutama SDGs 8 (Pekerjaan Layak dan Pertumbuhan Ekonomi) serta SDGs 11 (Kota dan Permukiman yang Berkelanjutan). Melalui kegiatan perkerisan, masyarakat tidak hanya menjaga warisan budaya tetapi juga menciptakan lapangan kerja dan mengembangkan ekonomi lokal berbasis kearifan tradisional.
Menurut Lurah Girirejo, pengembangan wisata budaya yang menonjolkan nilai lokalitas ini diharapkan mampu memperkuat posisi Banyusumurup sebagai Desa Wisata Budaya. “Konsep wisata ini menjadi model wisata berkelanjutan yang mempertemukan nilai tradisi, seni, pelestarian lingkungan, dan kesejahteraan masyarakat,” jelasnya.
Pendekatan wisata edukasi budaya juga diusung dengan memperkenalkan proses pembuatan keris secara langsung kepada wisatawan. Selain memberikan pengalaman belajar yang menarik, kegiatan ini turut memperkuat identitas Banyusumurup sebagai ‘Kampung Keris’ dan menjadi sumber inspirasi bagi pelestarian budaya tradisional di era modern.
Sebagai bentuk dukungan terhadap promosi budaya perkerisan, peneliti turut menyusun katalog produksi keris Banyusumurup yang akan dibagikan kepada para tamu dalam Pameran “Bantul Expo” pada 30 Oktober 2025 mendatang. Katalog tersebut diharapkan dapat menjadi media informasi dan promosi untuk memperluas jangkauan pemasaran produk lokal, sekaligus memperkuat branding budaya Banyusumurup sebagai desa pelestari warisan keris nusantara.
Dengan demikian, upaya masyarakat Banyusumurup mencerminkan praktik nyata dalam mendukung tercapainya SDGs, khususnya pada aspek ekonomi kreatif, pelestarian budaya, dan kelestarian lingkungan sebagai pilar pembangunan berkelanjutan.
Lokalitas Pariwisata di Dusun Banyusumurup
Dilihat dari sisi lokalitas dalam pariwisata, keunikan yang terdapat di dusun Banyusumurup sangat berpotensi untuk dijadikan sebagai atraksi wisata. Potensi-potensi yang tercipta dan berkembang seiring dengan perkembangan kehidupan masyarakat local, sehingga budaya yang melekat di dusun Banyusumurup telah memiliki sejarah panjang yang hingga kini masih dilestarikan. Pelestarian budaya dusun Banyusumurup tidak lepas dari kerjasama masyarakat yang memiliki keinginan untuk mengembangkan pariwisata di dusun Banyusumurup dengan segala potensi yang dimiliki.
Letak geografis yang merupakan perbukitan dan lembah menciptakan pemandangan alam yang indah dengan udara yang menyegarkan, sebagian lahan telah dikelola oleh Piat (Pusat Inovasi Agroteknologi) Universitas Gadjah Mada sehingga untuk dapat menikmati sebagian alam harus minta izin pihak PIAT. Di tengah-tengah alam yang indah tersimpan beberapa sumber mata air yang digunakan untuk membersihkan (menyucikan) keris sebagai tradisi di masa lampau. Konon katanya nama “Banyusumurup” yang berarti “air yang bercahaya”, diambil dari salah satu mata air bertuah yang tercipta dari sebilah pedang yang ditancapkan ke tanah oleh Raja Mataram yang pertama sebagai pertanda bahwa lokasi tersebut merupakan tempat bertuah untuk dijadikan makam raja-raja Mataram. Pemandangan yang belum terentuh oleh perkembangan kepariwisataan itu menyimpan habitat kera yang hingga kini masih dapat dilihat, adakalanya kera-kera tersebut turun untuk mengambil makanan.
Dalam hal budaya, dusun Banyusumurup memiliki potensi-potensi yang selaras dengan perkembangan kehidupan masyarakat setempat. Dusun Banyusumurup atau yang lebih dikenal dengan sebutan Kampung Keris memiliki keterampilan yang mumpuni dalam memproduksi berbagai jenis keris, baik keris Ageman (keris yang digunakan untuk upacara tradisi) ataupun keris Kodian (keris grosiran). Keris Ageman diproduksi oleh Mpu Keris yang telah memiliki sertifikat kompetensi sebagai Mpu Keris, sedangkan keris Kodian merupakan produk UMKM yang dijual secara massal dan dikerjakan oleh perajin yang sudah turun temurun. Produksi keris tersebut merupakan keterampilan turun temurun dari leluhur masyarakat Banyusumurup, yang hingga kini masih dipertahankan dan dikembangkan lebih luas. Untuk produksi keris mendukung SDG 8 yaitu meningkatkan ekonomi perajin secara etis.
Banyusumurup memiliki Omah Mbatik yang merupakan produksi batik pertama kali di kecamatan Imogiri, di Omah Mbatik tersebut masih tersimpan peralatan membatik yang masih otentik dengan desain batik lawasan (kuna) dan kain batik yang sudah turun temurun dari leluhur pemiliknya. Pemilik Omah Mbatik menempati rumah Joglo yang sudah berdiri kurang lebih satu abad lamanya yang hingga kini masih berdiri kokoh, rumah Joglo ini saat ini disewakan untuk kebutuhan shooting film. Yang sangat disayangkan adalah bahwa saat ini Omah Mbatik tidak lagi memproduksi kain batik, kegiatan membatik hanya sebatas pada workshop untuk anak-anak. Bahan-bahan yang digunakan adalah bahan-bahan alami yang tidak mudah luntur tetapi ramah anak.
Untuk kuliner, Banyusumurup memiliki Wedhang Uwuh sebagai minuman herbal kesehatan yang berasal dari akar-akar, daun, bunga pohon yang terdapat di sekitar dusun, seperti jahe, cengkeh, daun secang, kayu manis, gula batu atau gula merah. Wedhang Uwuh mendukung SDG 3 (kesehatan dan kesejahteraan), SDG 8 (pertumbuhan ekonomi lokal), dan SDG (produksi berkelanjutan, dengan memanfaatkan hasil alam tanpa bahan kimia).
Hasil penelitian yang telah dilakukan akan dijadikan referensi dalam pengembangan penelitian di tahun mendatang, agar tema penelitian dapat terfokus pada pengembangan di salah satu potensi.
Penulis: Anis

