
Salah satu tantangan utama pembangunan kota berkelanjutan adalah menjaga keseimbangan antara kemajuan ekonomi dan pelestarian budaya. Yogyakarta, yang dikenal sebagai kota budaya, memberikan contoh menarik melalui kegiatan Wayang Topeng Panji di Museum Sonobudoyo. Pertunjukan ini bukan hanya atraksi wisata, tetapi juga upaya strategis melestarikan identitas budaya lokal yang telah hidup selama berabad-abad. Dalam konteks Sustainable Development Goal (SDG) 11: Kota dan Komunitas Berkelanjutan, program ini menunjukkan bagaimana pelestarian seni dapat menjadi bagian integral dari pembangunan kota yang inklusif dan berketahanan budaya.
Penelitian oleh Pradana dkk (2025) menemukan bahwa penyelenggaraan Wayang Topeng Panji di Museum Sonobudoyo berperan besar dalam tiga aspek pelestarian, yaitu (1) pelindungan, (2) pengembangan, dan (3) pemanfaatan. Jika dilihat dari sisi pelindungan, pertunjukan ini mempertahankan keaslian gerak, peran dalang, dan struktur cerita Panji yang menjadi warisan budaya tak benda. Aspek pengembangan tercermin melalui inovasi penyajian yang dinamis, seperti interaksi langsung antara penari dan penonton, penambahan tata panggung modern, serta adaptasi kostum dan properti. Aspek pemanfaatan terlihat dalam pengelolaan pertunjukan sebagai atraksi wisata yang menarik ribuan pengunjung setiap tahunnya.

Implementasi Wayang Topeng Panji secara rutin telah menjadikan Museum Sonobudoyo sebagai ruang publik yang menghubungkan seni tradisi dengan kehidupan masyarakat modern. Pertunjukan ini melibatkan sembilan organisasi seni, sekolah, dan lembaga pendidikan tinggi di Yogyakarta, menciptakan jaringan kolaboratif yang memperkuat ekosistem kebudayaan daerah. Kegiatan ini sejalan dengan target SDG 11.4, yang berperan dalam memperkuat upaya melindungi dan melestarikan warisan budaya dunia. Selain itu, museum juga menjadi sarana pendidikan budaya bagi generasi muda serta ruang dialog antara pelaku seni dan wisatawan mancanegara.
Akan tetapi, keberhasilan ini diiringi sejumlah tantangan. Penelitian mencatat adanya risiko komodifikasi budaya dan penurunan nilai otentisitas akibat adaptasi berlebihan terhadap selera wisatawan. Dalam beberapa kasus, improvisasi yang terlalu bebas dapat mengaburkan makna ritual dan simbolik dari cerita Panji. Tantangan lain muncul dari keterbatasan fasilitas pertunjukan, seperti tata cahaya dan sistem suara yang belum memadai, serta harga tiket yang relatif murah sehingga mengurangi potensi peningkatan kualitas pementasan.

Guna menjawab tantangan tersebut, diperlukan kebijakan pelestarian berbasis keberlanjutan yang menyeimbangkan dimensi ekonomi, sosial, dan budaya. Pemerintah daerah dapat memperkuat dukungan melalui regulasi dan pendanaan yang mendukung inovasi berbasis kearifan lokal tanpa mengorbankan keaslian tradisi. Kolaborasi antara museum, akademisi, komunitas seni, dan pelaku pariwisata juga perlu diformalkan dalam kerangka kebijakan kota kreatif berkelanjutan.
Lebih jauh lagi, Wayang Topeng Panji yang dipentaskan secara rutin di Museum Sonobudoyo menjadi model bagaimana budaya lokal dapat menjadi daya ungkit pembangunan kota berkelanjutan. Kegiatan ini bukan hanya mempercantik wajah pariwisata, tetapi juga menumbuhkan rasa memiliki dan kebanggaan warga terhadap warisan leluhur. Di tengah arus globalisasi yang seragam, Yogyakarta berhasil menunjukkan bahwa ketahanan budaya merupakan fondasi penting dari pembangunan kota yang berkelanjutan dan beridentitas kuat. Dengan demikian, pelestarian Wayang Topeng Panji di Museum Sonobudoyo tidak hanya menjaga tradisi masa lalu, tetapi juga menyiapkan masa depan kota yang berpihak pada keberagaman, kreativitas, dan keberlanjutan sosial budaya.
Penulis: Cerry Surya Pradana